Oleh: Finzie
Keceriaan beliau
tidak memudar, meski raut wajah keriput diusia senjanya makin jelas kentara. Sebagai
seorang yang lahir sebelum negara ini berdiri beliaupun paham betul pahitnya perjuangan
rakyat Indonesia silam.
“Dulu, waktu bapak kecil. Pesawat
tempur Jepang sering lewat diatas langit desa kita Nak” terang bapak sembari menaikan telapak tangannya
seolah-olah itu pesawat tempur yang lewat. Tujuh puluh empat tahun lalu Indramayu, tepatnya didesa Eretan Wetan pasukan
Dai Nippon mendarat pertama kali di Jawa, serta dua serbuan lain dari Banten dan Rembang, Jepang dengan kekuatanya
mampu melibas kekuatan Belanda dengan cepat.
Kedatangan Jepang
disambut gagap gempita oleh warga pribumi, namun kenyataanya Jepang malah membuka
kedoknya sendiri. Secara paksa Jepang merebut hasil tani dan sawah milik rakyat
Indramayu. Selain itu juga pihak Dai Nippon memaksakan sistem kerja Romusha
yang sangat menyiksa.
Ilustrasi Pesawat Tempur Perang Dunia Ke-2
Menurut
orang tua dahulu termasuk bapak, para pribumi tidak berdiam diri dengan penindasan
ini, maka pantaslah sejarah telah mencatat terjadi sebuah konfrontasi berskala besar
yang diprakarsai oleh para Kyai dan santri diberbagai pelosok daerah seperti didesa Kaplongan, Cidempet, Srengseng, Karang Ampel, Lohbener, Pranggong,
Panyindangan, Sliyeg hingga Sindang.
“Seuwise merdeka Indonesia
durung aman bae Nang, masih akeh aman pemberontakan kaya PKI karo DI”(Sesudah merdeka Indonesia belum aman Nak,
pada waktu itu masih banyak pemberontakan seperti PKI dan DI) ucap bapak kembali.
Menurut beliau para pemberontak bertindak sangat keji, hal itu beliau ungkap dengan
berbagai macam bukti yang masih beliau ingat.
“Weruh bli ning kali kah, hampir enggal dina akeh mayit sing pada ngambang, kuen rata-rata korban PKI karo DI” (Tahu tidak?
Disungai sana hampir setiap hari ada mayat yang mengambang, rata-rata itu korban PKI dan DI) lanjut beliau.
Sejenak kita rehat, memflasback perjuangan silam bangsa ini. Sejak abad ke 17-20 Masehi bangsa Indonesia telah digilir oleh kolonialisme Eropa dan Asia mulai dari Portugis, Spanyol, Inggris,
Belanda hingga Jepang. Naïf rasanya jika kita tidak mengerti sejarah bangsa ini secara lengkap atau minimal sekedar
tahu sejarah saja sudah
merasa cukup.
Puncak perjuangan bangsa Indonesia terjadi setelah Soekarno didampingi Moh. Hatta mengucapkan teks proklamasi pada Jumat, 17 Agustus 1945, kemudian melalui kesepakatan para anggota
PPKI mengangkat Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai presiden dan wakil presiden
Indonesia yang pertama.
Tidak mudah mempertahakan kemerdekaan Indonesia, pasca kemerdekaan pun Indonesia
masih melawan penjajah seperti peristiwa pemerintahan Belanda yang ngotot bahwa wilayah Indonesia merupakan wilayah jajahannya yang masih sah, tercatat banyak konfrontasi besar diera tahun 1945-1949. Bukan hanya itu pemberontakan juga bermunculan bak buih dalam cucian, pemberontakan PKI, PRRI,
Permseta, DI/TII, OPM hingga Gerakan
Aceh Merdeka dan masih banyak yang lainya berusaha
merongrong keutuhan bangsa ini.
Umumnya pemberontakan terjadi karena berbagai macam latar belakang seperti kecemburuan sosial, ideologi, ekonomi hingga politik. Pantas saja
Bung Karno berpesan “Perjuanganku lebih mudah
karena mengusir penjajah, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu
sendiri”
Kembali ke ceita bapak…
“Ada kisah yang bapak sangat ingat,
cerita ini sangat masyhur dikalangan keluarga dan masyarakat desa pasti tahu tentang
kisah ini” Tiba-tiba saja rasa ingin tahu saya bertambah.
“Orang-orang desa mengenalnya dengan
panggilan Munaji, dia dikenal sebagai seorang pejuang kemerdekaan yang gigih, setiap
hari dia berkeliling desa dengan menunggang kuda” Bapak membuka ceritanya.
“Karena kegigihanya dalam
mempertahankan kemerdekaan bangsa ini, ia menjadi buronan nomor satu pihak
Federal(istilah orang jaman dahulu menyebut orang pribumi yang menjadi antek
Penjajah dan pemberontak), waktu itu pihak Federal mengepung rumah beliau,
beliaupun tidak mau melawan karena ia mengalah demi keselamatan keluarganya” beliau menarik nafas sejenak, lalu melanjutkan ceritanya.
“Beliau menyerahkan diri
kemudian dia dibawa ke salah satu sudut desa yang sekarang kita kenal sebagai
blok Kalen Bojong, sudah menjadi rahasia umum jika penduduk pribumi maupun
tokoh penting jika dibawa mereka pasti tidak
akan pernah kembali” Saat itu saya berusaha menelaah maksud bapak.
“Yang dimaksud tidak akan pernah
kembali itu mati Pak?” Saya berusaha menyela
“Iya benar Nak” Jawab beliau
kemudian melanjutkan kisahnya
“Saat itu Munaji pasrah kepada
Allah dengan nasibnya ia berfikir hidupnya akan berakhir dengan leher terputus
atau otaknya tertembus peluru, sebelum semua terjadi beliau meminta izin untuk
membaca Alquran kemudian sholat sunah dua rokaat” Nada bicara beliau mulai
meninggi.
“Lalu bagaimana lagi Pak?”
Lagi-lagi saya menyela karena rasa penasaran saya yang tinggi.
“Waktu itu beliau sedang sholat
sunah. Karena dinilai membuang waktu, pihak Federal yang tidak sabaran langsung
menembak beliau tepat mengenai jari tanganya. Beliau pun wafat karena pendarahan”
Tiba-tiba waktu terasa terhenti, sesak terlihat diraut muka beliau, begitupun
juga saya. Saya tidak habis berfikir bagaimana kejadian keji seperti itu
terjadi, hal tersebut sekarang mungkin masih
sering kita temukan terutama di daerah Timur Tengah, hampir setiap hari banyak
pemberitaan dimedia masa yang menunjukan orang yang sedang beribadah sekaligus
tempat ibadahnya dibom.
“Mayat beliau lalu ditinggalkan
lalu mereka pergi begitu saja, warga desa tidak ada yang berani melawan karena siapa saja yang melawan pasti mati. Waktu
itu kain sarung bapak jadi saksi betapa khusnul khotimahnya beliau” Intonasi
bicara beliau mulai merendah
“Maksudnya gimana Pak?”Terbersit
sebuah pertanyaan dalam benak saya. Kemudian bapak mengungkapknya.
“Waktu itu sarung bapak mu dipakai buat nutupin mayat beliau. Sarung bapak banyak bercak-bercak darah beliau, asal
kamu tahu Nak, sarung bapak itu sangat wangi dan yang
paling menakjubkan sesaat beliau dikuburkan, orang-orang didesa ini tahu betapa
wanginya kuburan beliau bahkan masyarakat luas pun tahu kuburan beliau
bercahaya selam tujuh hari tujuh malam!” Seketika rasa takjub menyeruak dalam
dada, sebuah keistimewaan yang Allah berikan kepada hamba-Nya yang mati syahid,hal
itu bertolak belakang dengan mayat teroris yang diagung-agungkan pengikutnya
syahid padahal kenyataan tidak sama sekali.
Cerita bapakpun berhasil membuka mata saya yang lupa akan intisari dari sejarah bangsa. KH. Yasief Maemun pun pernah
berkata “Kita berasal dari masa dahulu,
maka hormatilah orang-orang terdahulu”Statemen beliau sangat masuk akal
karena masa sekarang ada toh karena
ada perjuangan orang-orang lampau yang berkorban demi bangsa, maka mutlak bagi
kita yang terlahir dijaman sekarang ini menghormati mereka atau minimal menjaga
keutuhan yang telah mereka perjuangkan. Kisah bapak pun belum berakhir sampai
disitu.
“Weruh bli Nang?” (Kamu tahu tidak Nak?) Tanya bapak dengan serius.
“Munaji itu kakak bapakmu” Tutup
beliau dengan senyum mengembang dibibirnya.
0 Comments