Ketika kita membicarakan tentang
media sosial pasti kita sering mendengarkan istilah Flexing didalamnya. Flexing
adalah suatu kebiasaan memamerkan apa yang kita miliki di media sosial, tujuannya untuk mendapatkan
perhatian dan pengakuan dari orang lain. Kebiasaan flexing ini tidak lepas dari
perkembangan teknologi media sosial yang pesat, secara tidak sadar apapun yang
kita unggah itu merupakan flexing.
Namun, flexing sendiri kini
menjadi gambaran suram dari medsos. Banyak orang memaksaan keadaan diri demi
mendapatkan pujian, perhatian, dan pengakuan yang bertujuan sebagai bukti
eksitensi diri. Keadaan tersebut justru berbahaya bagi kesehatan mental
seseorang, terlebih jika flexing ini sudah mengganggu aktifitas, merugikan
orang lain hingga kehilangan jati diri saat itulah seseorang sudah masuk dalam
jebakan gelap flexing.
Dalam Islam flexing dikenal
dengan sebutan Riya. Riya atau pamer termasuk golongan dosa besar dan Islam mengaharamkan
perbuatan tersebut, bahkan nabi Muhammad menyebut bahwa riya adalah syirik
kecil. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan dari Mahmud bin Labid bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sungguh yang paling aku takuti atasmu adalah asy-syirk al-ashgar.
Sahabat bertanya: Apa asy-syirk al-ashgar itu wahai Rasulullah? Beliau
bersabda: Riya. Allah ketika membalas perbuatan manusia pada hari kiamat
berfirman: “Pergilah kepada mereka yang engkau riya untuk mereka di dunia, dan
lihatlah apakah engkau mendapatkan balasan pada mereka”. (HR. Ahmad).
Sedangkan menurut Imam Ghazali
seperti dikutip dari NU Online, riya memiliki 6 tempat yang berpotensi munculnys ria yaitu:
Pertama, dalam bentuk tubuh serta
muka. Contohnya adalah menampakan lekuk tubu yang kurus kering dan lemah agar
orang-orang melihatnya seperti seorang ahli puasa dan ahli riyadhah. Termasuk
juga menampkan raut muka sedih, supaya terlihat seperti orang yang punya
pengamatan mendalam tentang kehidupan dan kehinaan dunia.
Kedua, dalam penampilan.
Contohnya, seperti menggunakan pakaian yang syar’i agar dianggap lebih alim
daripada orang lain, berjalan dan melangkah secara elegan supaya tampak lebih
berwibawa, menampakkan bekas sujud di
dahi agar dianggap ahli ibadah.
Ketiga, dalam gaya pakaian. Sama
seperti mengenakan lengan panjang dengan lengan digulung, mereka tidak memiliki
tujuan lain selain terlihat keren. Bahkan berpakaian compang-camping dengan
beberapa tambalan adalah bagian dari menampilkan diri sebagai seorang sufi yang
tinggi dan rendah hati.
Keempat, riya’ dengan ucapan. Ini
termasuk apa yang sering disukai oleh para pengdakwah. Jadi berhati-hatilah, ini
karena bahkan orang yang saleh pun tidak bisa lepas dari penyakit riya.
Kelima, riya’ dalam perbuatan. Seperti
memperpanjang waktu rukuk dan sujud, misalnya zakat, puasa, haji, dll. Semua ini
berpotensi menciptakan riya.
Keenam, riya’ juga bisa tumbuh
karena banyaknya murid, teman, dan guru yang bisa dipamerkan. Seperti orang
yang sering berkunjung kepada para gurunya, sehingga ia memiliki branding diri
yang baik di mata umat: misalnya dekat dengan orang alim, sering bertabaruk,
dan seterusnya.
Nampaklah bahwa flexing atau riya
memiliki tempat-tempat sendiri yang berpotensi muncul kapan saja. Atas dasar
itu, riya mampu menghanguskan semua amalan-amalan baik yang kita lakukan dan
menjerumuskan kita pada jurang api neraka. Selain contoh diatas sejatinya masih
banyak contoh-contoh lain yang berseliweran dimedsos yang bisa kita identifikasikan sendiri.
Kita selalu berdoa kepada Allah
meminta perlindungan agar dihindarkan dari semua amalan-amalan riya dan
berharap bahwa ibadah dan perbuatan yang kita lakukan merupakan tulus dan
ikhlas hanya untuk Allah semata. (Penulis: Ikfini Vidi)
0 Comments