Kiai Amin bin Irsyad, atau yang
lebih dikenal dengan sebutan Kiai Amin Sepuh, lahir pada hari Jum’at, tanggal
24 Dzulhijjah 1300 H, bertepatan dengan tahun 1879 M, di Mijahan Plumbon,
Cirebon, Jawa Barat. Beliau adalah termasuk ahlul bait, dari silsilah Syech
Syarif Hidayatullah.
Kiai Amin adalah sosok santri
kelana tulen. Kiai Amin semasa kecil belajar ilmu agama kepada ayahnya, yaitu
Kiai Irsyad (wafat di Makkah). Kemudian, setelah dirasa cukup menguasai
dasar-dasar ilmu agama dan ilmu kanuragan dari sang ayah, beliau dipindahkan ke
pesantren Sukasari, Plered, Cirebon di bawah asuhan Kiai Nasuha. Setelah itu
beliau pindah ke sebuah pesantren di daerah Jatisari di bawah bimbingan Kiai
Hasan.Dan beliau pun terus berkelana ke berbagai tempat untuk menuntut ilmu
dari para ulama yang mumpuni.
Beliau juga sempat belajar di
Pesantren Kaliwungu Kendal (kakak angkatan KH. Ru’yat), setelah itu ke
pesantren Mangkang Semarang. Setelah itu beliau pindah ke sebuah pesantren di
daerah Tegal, di bawah asuhan Kiai Ubaidah.Kemudian beliau pindah ke Pesantren
Bangkalan Madura, tepatnya beliau belajar kepada Syaikh KH.Cholil.Ketika berada
di Bangkalan beliau di bawah bimbingan Kiai Hasyim Asy’ari, yang mana pada
waktu itu KH.Hasyim Asy’ari masih tahassus kepada KH.Cholil. Kemudian setelah
kepulangan KH.Hasyim Asy’ari ke Pesantren Tebu Ireng Jombang, KH.Amin Sepuh pun
bertahassus kepada beliau.
Belum kenyang belajar di
Pesantren Tebu Ireng, beliau bertolak ke tanah Arab untuk memperdalam
ilmu.Salah satu guru beliau di Makkah adalah Kiai Mahfudz Termas, seorang ulama
ternama di Makkah asal Pacitan Jawa Timur.Sebagai seorang santri yang sudah
cukup matang, beliau pun mendapat tugas untuk mengajar para santri mukim, yaitu
prlajar Indonesia yang tinggal di Makkah.
Kepengasuhan Pondok Pesantren
Raudlotut Tholibin, Babakan Ciwaringin
Berdasar amanah dari sang ayah,
yaitu Kiai Irsyad (cucu Ki Jatira, pendiri Pesantren Babakan Ciwaringin
Cirebon), Kiai Amin diamanatkan untuk menimba ilmu kepada Kiai Ismail bin
Nawawi di Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon.
Ketika mesantren di Babakan
Ciwaringin, beliau dikenal dengan sebutan Santri Pinter, karena beliau pandai
mengaji.Setelah beliau menyelasaikan tahassus, kemudian beliau dinikahkan
dengan keponakan Kiai Ismail.
Sehingga sepeninggal Kiai Ismail,
pada tahun 1916, pengasuh Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin (Cikal bakal
Pondok Pesantren Raudlotut Tholibin) diteruskan oleh muridnya, yaitu Kiai
Muhammad Amin bin Irsyad, yang lebih dikenal dengan dengan Kiai Amin Sepuh.
Gelar itu disematkan kepada beliau, dikarenakan keilmuan dan asal muasal beliau
yang sama dengan pendiri Pesantren Babakan, yaitu Kiai Jatira dari Mijahan.
Dengan bermodal ilmu pengetahuan
yang telah ia peroleh, serta upaya untuk mengikuti perkembangan Islam yang
terjadi di Timur Tengah, Kiai Amin Sepuh memegang tampuk pimpinan Pesantren
Babakan Ciwaringin, peninggalan nenek moyangnya dengan penuh kesungguhan.
Kiai muda yang masih energik ini,
selain mengajar berbagai khazanah kitab kuning, beliau juga memperkaya
pengetahuan para santrinya dengan ilmu keislaman modern, tentu dengan tetap
mempriotrotaskan kajian ilmu ubudiyah dalam kehidupan sehari-hari.
Perkembangan Pondok Pesantren
Raudlotut Tholibin
Pada masa penjajahan, para santri
kelana inilah yang menjadi mediator antar pesantren untuk melawan
penjajah.Sementara pesantren di manapun berada, pesantren selalu menjadi basis
perlawanan yang menakutkan bagi penjajah. Para santri kelana ini menyebarkan
informasi dari satu tempat ke tempat yang lain, dan tak jarang pula mereka yang
menjadi garda depan dalam melakukan perlawanan terhadap penjajah.
Paska revolusi kemerdekaan,
beliau terus mengembangkan Pesantren dengan berbagai aral melintang.Bahkan
situasi dahsyat yang pernah dialami adalah ketika Agresi Militer Belanda ke
dua, tepatnya pada tahun 1952, Pondok Pesantren Babakan diserang Belanda.
Dikarenakan KH. Amin Sepuh sebagai sesepuh Cirebon, merupakan pejuang yang
menantang penjajah.Pada saat itu pondok dikepung dan dibakar.Sehingga membuat
para santri pulang, sedang para pengasuh beserta keluarga mengungsi.
Baru dua tahun kemudian, tepatnya
tahun 1954, Kiai Sanusi, salah satu murid KH. Amin Sepuh, merupakan orang yang
pertama kali kembali dari pengungsiannya. Sisa-sisa kitab suci berantakan, dan
banyak kiatab karya KH.Amin Sepuh yang habis terbakar.Bangunan telah hancur,
tnggal puing-puing, dan menjadi tampak angker.Namun secara bertahap lingkungan
pondok mulai dibersihkan.
Kemudian pada tahun 1955,setelah
situasi sudah mulai kondusif, KH.Amin Sepuh akhirnya kembali ke Babakan, kemudian
diikuti oleh para santri berdatangan dari berbagai pelosok.Semakin hari, santri
terus bertambah banyak, dan Pondok Raudhotut Tholibin pun akhirnya tidak dapat
menampung para santri, sehingga para santri dititipkan di rumah para ustadz,
seperti halnya KH. Hanan dan KH.Sanusi.
Pada perkembangannya, anak cucu
beliau turut mendirikan dan mengembangkan PondokPesantren.Sehingga Pondok yang
awalnya hanya satu, yaitu Pondok Pesantren Raudlotut Tholibin, sekarang telah
menjadi banyak.Dan tercacat pada tahun 2012, telah terdapat sekitar 40 Pondok
di lingkungan Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon.
Kiai Amin dan Peristiwa 10
November 1945
Diceritakan dalam sebuah majelis,
bahwasanya almarhum KH. Abdul Mujib Ridlwan, Putra KH. Ridlwan Abdullah
Pencipta lambang NU, mengajukan sebuah pertanyaan, “Kenapa perlawanan rakyat
Surabaya itu terjadi 10 November 1945, kenapa tidak sehari atau dua hari
sebelumnya, padahal pada saat itu tentara dan rakyat sudah siap?”
Melihat tak satupun hadirin yang
dapat menjawab, akhirnya pertanyaan itu dijawab sendiri oleh Kiai Mujib,
“Jawabannya adalah saat itu belum diizinkan Hadratus Syaikh KH.Hasyim Asy’ari
untuk memulai pertempuran, mengapa tidak diizinkan? Ternyata Kiai Hasyim
Asy’ari menunggu kekasih Allah dari Cirebon yang akan datang menjaga langit
Surabaya, beliau adalah KH. Abbas Abdul Jamil dari Pesantren Buntet Cirebon dan
KH.Amin Sepuh dari Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon.”
KH.Amin Sepuh adalah seorang
ulama legendaries dari Cirebon.Selain dikenal sebagai ulama, beliau juga pendekar
yang menguasai berbagai ilmu bela diri dan kanuragan.Beliau juga seorang pakar
kitab kuning sekaligus jagoan perang.
Sehingga saat mendengar Inggris
akan mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945 dengan misi mengembalikan
Indonesia kepada Belanda, maka KH.Amin menggelar rapat bersama para Kiyai di
wilayahnya.Menurut penuturan Kiai Fathoni, pertemuan itu dilakukan di daerah
Mijahan, Plumbon, Cirebon.Bersama dengan Kiai Amin, Kiai Fathoni menjadi saksi
pertemuan yang melibatkan KH. Abbas Abdul Jamil Pesantren Buntet, KH. Anshory
(Plered), dan ulama lain. “Namun, saat itu saya masih kecil”, tutur pria yang
dipercaya sebagai penerus pengasuhan Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon
tersebut.
Pertemuan itu ditindaklanjuti
dengan pengiriman anggota laskar ke Surabaya untuk menghadang 6000 pasukan
Brigade 49, Divisi 23 yang dipimpin Brigadir Jenderal AWS Mallaby. Tidak
ketinggalan, KH.Amin juga ikut berangkat ke Surabaya serta turut mengusahakan pendanaan
untuk biaya keberangkatan.Kyai Fathoni mengatakan bahwa untuk pendanaan, beliau
menyerahkan 100 gram emas yang terdiri dari kalung, gelang, dan cincin.
Kepahlawanan KH Amin dalam
peristiwa 10 November memang cukup legendaris sampai sekarang.Bahkan saat itu
ada stasiun radio yang menyiarkan bahwa KH.Amin adalah seorang yang tidak
mempan senjata maupun peluru saat bertempur di Surabaya.Bahkan, dia juga
dikabarkan tidak mati, meski dilempari bom sebanyak 8 kali.Siaran inilah yang
membuat kepulangan KH.Amin ke Cirebon disambut oleh 3000-an orang untuk meminta
ijazah kekebalan darinya.Kondisi ini tentu saja membuatnya marah.Sampai-sampai
beliau mengatakan bahwa beliau tidak mati karena bomnya meleset, kenang Fathoni
saat ayahnya datang dari Surabaya
Estafet Kepengasuhan
Pada masa pengasuhan KH. Amin
Sepuh, Pondok Raudlotut Tholibin, Babakan mencapai kemasyhuran dan masa
keemasan serta banyak andil dalam mencetak tokoh-tokoh agama yang handal.
Hampir semua Kiai Sepuh di wilayah 3 Cirebon adalah muridnya, dan sebagian juga
tersebar di berbagai belahan nusantara.Seperti Kang Ayip Muh (Kota Cirebon),
KH. Syakur Yasin, KH. Abdullah Abbas (Buntet), KH. Syukron Makmun, KH. Hannan,
KH. Sanusi, KH. Machsuni (Kwitang), KH. Hasanuddin (Makassar). Di Babakan
sendiri, murid-murid beliau banyak yang mendirikan pesantren, seperti halnya
KH. Muhtar, KH. Syaerozi, KH. Amin Halim, KH. Muhlas dan KH. Syarif Hud
Yahya.Dan pada saat ini, ribuan alumni telah tersebar di seluruh penjuru tanah
air, dengan bermacam profesi dan jabatan di masyarakat maupun lembaga
pemerintahan, baik sipil maupun militer.
Artefak pesantren Babakan
Ciwaringin (Raudlotut Tholibin) sendiri masih eksis. Sejak KH. Amin sepuh wafat
pada tahun 1972, disusul KH.Sanusi yang wafat pada tahun 1974 M, kepengurusan
dilanjutkan oleh KH.Fathoni Amin sampai tahun 1986 M.
Setelah KH. Fathoni wafat,
kepengurusan pesantren dilanjutkan oleh KH.Fuad Amin (wafat tahun 1997) beserta
KH. Bisri Amin (wafat tahun 2000 M). kemudian diteruskan oleh KH. Abdullah Amin
(wafat tahun 2008) beserta KH. Drs. Zuhri Afif Amin (wafat pada tahun 2010 M).
Setelah KH. Drs. Zuhri Afif Amin wafat, kepengurusan dilanjutkan oleh cucu-cucu
KH. Amin Sepuh, paraulama serta masyarakat yang berkompeten untuk kemajuan
pesantren.
Kepulangan KH. Amin Sepuh
KH. Amin Sepuh bepulang ke
rahmatullah pada hari Selasa, tanggal 16 Rabi’ul Akhir 1392 H,bertepatan dengan
tanggal 20 Mei 1972 M. Bangsa ini kembali kehilangan sosok pahlawan tanpa tanda
jasa, yang begiru gigih mempertahankan keutuhan bangsa Isdonesia. Semoga Allah
menerima segala amal beliau dan menempatkannya di tempat yang mulia, Aamin.
(Sumber: Majalahlangitan.com)
0 Comments