Oleh: Muhammad Hanan*
Sayup-sayup terdengar obrolan pelanggan dan pelayan diantara keramaian.
“Silahkan pak, boleh saya catat pesanan anda ?”
“Sebentar saya lihat dulu daftar menunya, hmmm.. apa yang paling enak disini..?
“Untuk hidangan yang paling banyak dipesan dari indonesia ada Gurami Saus Nanas dan Sate Padang. Sedangkan hidangan internationalnya Chicken Cordon Bleu dan Beef Steak Saus Lada Hitam.”
“Kalau begitu saya mau Gurami Saus Nanas dan Chicken Cordon Bleu.”
“Dengan senag hati pak, mohon tunggu sebentar”
Dapur semakin ramai seiring dengan matahari yang semakin meninggi. Seperti biasa berbagai suara menghiasi tempat itu,bunyi minyak panas di wajan yang dipakai menumis, pisau-pisau yang diadu berkali-kali dengan meja ketika memotong dan kobaran api yang menari-nari begitu indah menghantam wajan dan panci. Berbagai bahan makananpun mulai diolah sesuai dengan menu yang dipesan pelanggan.
“Srreeeeeng...tok tok tok tok tok... wuuusshhh....”
Kantor semakin renggang, orang-orang disana mulai keluar dari tempat kerjanya ketika tengah hari. Pukul 11.30 siang, restoran itu mulai berjuben dipenuhi lautan manusia yang menantikan hidangan lezat untuk memuaskan hasrat lapar mereka. Satu persatu kursi dan meja mulai terisi, beragam wajah manusia bercampur menambah sedap suasana restoran siang itu. Sementara para pelayan tampak sibuk mengantarkan pesanan dari ujung ke ujung, tidak terlupakan juga senyum semringah bos yang bahagia melihat restoranya laris manis.
“Pesanan Meja 12,Casserole dan Cheese cake Oregano siap” ujar salah satu koki.
“Pesanan Meja 8 dan meja 15, Ayam bakar madu dan Seafood Tom Yam sudah siap.” Ujar lagi koki yang lain dari dapur itu.
Para pelayan mulai menjemput makanan-makanan itu untuk segera diantarkan kepada para pemesan. Satu persatu meja makanpun terhiasi oleh berbagai macam hidangan.
“Silahkan pak, jika perlu yang lain panggil saja salah satu dari kami.” Senyumnya ramah terhadap pelanggan.
Restoran Zuppa memang patut diperhitungkan, selain makanannya yang enak suasananya pun begitu nyaman dihiasi senyum-senyum ramah pelayannya. Masakan penggugah selera dari cita rasa indonesia, asia bahkan western tersaji disana. Musik-musik indah terdengar disetiap penjuru ruangannya, suasananya mendukung bagi mereka untuk menikmati hidangan.
“Pesanan Meja 7, Nasi Goreng Ikan asin sudah siap.” Ujar Ridwan yang merupakan koki baru di Zuppa.
segera makanan itu dibawakan kepada pria tua dengan kemeja coklat bergaris yang tampak gelisah menunggu makanannya.
“Braaaaaaag....Restoran macam apa ini,!!!.”
Serentak semua pasang mata tertuju kepada pria tua yang menggebrag keras mejannya dengan wajah memerah. Tidak ada hujan ataupun badai ketenangan di restoran itu pecah oleh amarah pria tua itu.Tidak disangka suapan pertama pria tua itu menjadi bencana bagi seluruh pegawai restoran.
“Maaf pak ada yang bisa saya bantu.” Salah satu pelayan mencoba menenangkannya.
“Lihat ini, makanan ini tidak layak dihidangkan, rasanya aneh dan tidak enak.” Jari telunjuknya menuding lurus ke arah piring.
Bos yang merasa mulai terusik melangkah keluar dari ruangannya.
“Kalau begitu akan segera kami ganti pak.” Ucap bos dengan ramahnya.
“Tidak usah, aku sudah kehilangan nafsu makan.”
Mendengar keributan itu Henry pun keluar dari dapur dan menghampiri meja dimana pria tua itu duduk.
“Maaf pak saya Chef disini, jika ada yang kurang berkenan berkaitan dengan makanan yang kami sajikan, silahkan bapak adukan kepada saya.”
Wajah tampan,senyum sejuk dan sosoknya yang ramah sedikit meredakan amarah pria tua itu, kedatangannya seolah air yang menghilangkan dahaga mereka yang kegerahan.
“Ini cicipi saja, nasi goreng macam apa ini.” Ucap si pria tua.
Rasa penasaran henry mondorong untuk mencicipi hidangan di piringnya. Tangan Henry mulai meraih sendok dan menyadap makanan itu.
“Siapa yang memasak nasi goreng ini”? Ujar Chef Henry.
“Sss..saya chef”.
“Ikut saya kedapur Ridwan.”
Mereka berdua melangkah meninggalkan pria tua itu, lalu lekas ke dapur. Henry menanyakan kepada Ridwan tentang bahan dan bumbu-bumbu dalam Nasi Goreng Ikan Asin itu. Kesalahan Ridwan hanya satu, dia keliru memasukan kecap asin dengan kecap manis. Ridwan beralasan bahwa karena kedua botol kecap itu sama sehingga sulit untuk membedakannya. Tidak ada raut wajah yang berubah sedikitpun pada Henry. Dia memaklumi kesalahan Ridwan sebagai koki baru di restoran itu. Kemudian mereka berdua bergegas kembali lagi ke meja dimana pria tua duduk.
“Maaf atas kesalahan kami pak, dia adalah koki baru disini, mohon memakluminya.”
“Tidaaaak, aku sudah tidak nafsu makan.”
Nasi Goreng Ridwan seketika berserakkan di meja makan, piring tempat hidangannya tersaji terbalik oleh hempasan tangan dari pria tua. Raut wajah tenang henry mengencang melihat apa yang dilakukannya, dahinya mengerut sedangkan matanya menajam. Tangan Henry mengulur ke arah leher pria tua itu, telapak dan jari tangannya meremas kerahnnya di baluri dengan tatapan tajam Henry.
“Belum cukupkah kau mencela makanan itu pak tua, atau kau ingin aku memotong lidahmu. Aku tidak akan memaafkan orang yang membuang-buang makanan sepertimu. Tunggulah.. akan ku gantikan dengan makanan yang lain.” Tegas Henry dengan tangan yang melemparkan pria tua itu agar duduk tenang dimejannya.
Lantas Henry pun berpaling dari pria tua lalu bergegas menuju dapur. Semua pegawai restoran tak terkecuali sang bos melirik ke arah Henry, mereka paham betul kenapa dia melakukan hal semacam itu. Sementara wajah pria tua itu menjadi tidak tentu arah akibat apa yang dilakukan henry terhadapanya, takut,heran dan malu bercampur aduk terukir di rautnya. Terpaksa atau tidak dia akhirnya mulai bisa duduk tanpa berulah.
Perlahan sosok Henry pun menghilang diantara keramaian. Dia mulai menyiapkan bahan-bahan dan mengolahnya menjadi sebuah makanan untuk disandingkan kepada pria tua itu. Tangan-tangan terampilnya tampak begitu lihai, caranya memotong lalu memainkan wajan dan peralatan masak lainnya terlihat sangat luwes. Bagaikan seorang pelukis yang menggoreskan tinta-tintannya sehingga menjadi lukisan sangat indah, atau seorang penyair yang merangkai kata menjadi begitu bermakna.
Selang beberapa saat Henry mulai mendekati meja dimana pria tua itu duduk, tangannya memangga sebuah piring berisikan hidangan hangat beraroma sedap. Perlahan dia mulai megulurkan piring itu ke atas meja dan menyajikannya.
“Silahkan pak,nikmatilah makanan ini.” Ucapannya mulai sopan kembali.
Henry memilih untuk kembali lagi kedapur dan mengabaikan pria tua itu. Tak lama makanan tersaji pria itupun mulai melirik ke arah piring, dia rupanya tidak bisa mengelak godaan dari makanan itu. Lambaian aroma dan kedipan dari warnannya merangkul pria tua itu untuk segera menyantapnya. Satu sendok pertama wajah pria itu tampak mulai cerah hingga suapan-suapan selanjutnya. Dia tampak menikmati sekali makanan itu hingga sendok terakhir. Nafsunya padam dihempas oleh hidangan yang dia makan.
“Enak sekali, bagaimana dia membuatnnya.” Gumam pria tua itu mulai keheranan.
Benak si pria tua mulai bertanya-tanya hingga mendorongnya untuk tahu lebih jauh tentang makanan yang dia santap. Lalu dia memanggil bos restoran itu untuk bercakap-cakap menemaninnya.
“Duduklah saya ingin menanyakan beberapa hal kepada anda.”
“Anda pasti terkejut dengannya.”
“Siapa dia sebenarnya ?”. Tanya pria itu.
“Namannya Henry, Dia adalah Chef di restoranku. Dialah kepala juru masak disini yang mengatur semua urusan dapur. Semua koki di dapur itu berada dibawah naungan perintahnya.”
“Makanan yang dibuatnya ini benar-benar enak, belum pernah saya mencicipi yang seperti ini sebelumnya.”
“Pengalamannya selama bertahun-tahun dalam bidang kuliner diberbagai restoran menjadikannya jago dalam kuliner apapun. Sudah begitu dia adalah lulusan dari Le Cordoun Bleu paris,.” Lantang bos menjelaskan tentang sosoknya.
“Hebaaat tak ku sangka ada orang seperti dia, tapi saya sedikit terkejut ketika dia mengancamku tadi.”
“Anda belum tahu saja perjalanan hidupnya.”
“Apaa, ceritakan kepadaku.?. Rasa penasaran pria itu rupanya tidak bisa dia tahan.
“Dia tidak jauh berbeda seperti yang lain, hanya orang biasa dengan segudang mimpi besarnya. Kehidupannya bisa dikatakan kurang beruntung. Dia berasal dari keluarga biasa yang untuk makanpun dia harus bersusah payah, itulah sebabnya dia sangat begitu menghargai makanan. Seringkali ketika dia memulung dan melewati restoranku dia berhenti sejenak memandangi orang-orang yang makan dengan enaknnya disini. Hingga tanpa sengaja aku bertemu dengannya ketika restoran sudah tutup saat aku akan membuang sampah dimana biasa makanan sisa dibuang.”
Ingatan sang bos menyeretnya ke waktu ketika pertama kali dia bertemu dengan Henry.
“Hey, sedang apa kau disini.?”
“Mmm..maaf pak aku hanya mencoba mencari makanan.”
“Kenapa kau mencarinya disini, itu kan makanan sisa.”
“Ngga apa-apa sisa juga pak yang penting aku bisa mencicipi makanan enak kaya gini“. Suaramya terdengar semu sementara mulutnya masih penuh mengunyah makanan.”
“Tolong jangan beri tahu bos disini ya pak, nanti aku tidak bisa makan enak lagi disini.”
“Iya tenang saja.”
Pria tua itupun rupanya masih penasaran, dia kembali melontarkan pertanyaan kepada sang Bos restoran.
“Lalu bagaimana dia bisa menjadi seorang Chef,?”
Sembari menghela nafas panjang, sang bos melanjutkan ceritanya.
“Di hari yang lain aku menyuruh salah satu koki di restoranku untuk membuatkan makanan untuknya. Baginya makanan itu adalah makanan enak pertama yang dia makan dengan layak dari sebuah restoran. ”
“Memangnya seperti apa makanan itu ?.”
“Sama seperti yang Anda makan saat ini.”
“Makanan ini.?” Sepasang matanya melirik ke arah piring dengan tatapan heran.
“Ya benar, nama masakan itu adalah Risotto". Tegas sang bos menjawab.
Sesaat Pria tua itu menatap lama makanan itu. Perlahan bibirnya mulai tampak mengukir sebuah senyuman tanpa alasan sambil kemudian melanjutkan kembali perbincangannya.
“Lalu bagaimana selanjutnya.?”
“Kemudian Henry aku perbolehkan bekerja disini, mulai dari pelayan, tukang cuci piring, tukang potong sampai kemudian menjadi koki direstoranku. Kerja kerasnya tidak sia-sia. Ketika lulus dari SMA, dia mendapat beasiswa untuk belajar di Le Cordoun Bleu Perancis, salah satu sekolah memasak terbaik di dunia,”
“Hebat, sejak muda impiannya sudah besar seperti itu.”
“Henry banyak belajar tentang arti kehidupan. Setelah lulus dari Perancis dia memilih untuk pulang ke Indonesia dan bekerja untuk memajukan restoranku ini sebagai bentuk rasa terima kasihnya.”
Pria tua itu hanya membisu mendengar semua cerita tentang Henry. Raut mukanya terlihat kosong, terdiam memikirkan hal yang lain. Dia mulai merogoh kantongnnya dan bermaksud membayar makanan yang dia santap. Tangannya mulai melambai ke arah pelayan lalu memberikan beberapa lembar rupiah kepadannya. Pria tua itu mulai berdiri, mengulurkan tangannya kepada sang bos lalu bersalaman. Beberapa kalimat sempat teruntai dari mulutnya sebelum meninggalkan restoran itu.
“Maafkan tingkah saya tadi pak, dan terima kasih banyak untuk semuannya.”
“Tidak apa pak, kami mengerti. Justru kami yang seharusnya meminta maaf.”
“Oh iya, sampaikan pada Henry, makanannya enak dan saya sangat senang.”
“Baik pak akan saya sampaikan padannya.” Sang bos membalas dengan senyum ramah.
“Ini kartu nama saya pak, barangkali bapak memerlukannya.”
“Iya pak, akan saya simpan.”
Pria tua itu mulai membiarkan pantopelnya melangkah keluar. Dia tampak masuk ke sebuah mobil lalu lekas menjalankannya. Sementara sang bos mulai mengalihkan pandangannya ke arah kartu nama yang diberikan pria tua tadi. Matanya mulai meraba bacaan disana yang tertulis:
Nama: William Wongso
Alamat: Green garden blok L2/31.
No. Kontak: 08561068889
Pekerjaan: Kritikus Makanan (Food critic).
Pakar Kuliner (Culinary Experts)
*Diposting pertama kali di Facebook pada: 15 Februari 2014 pukul 19:34
0 Comments