Brownies untuk Linda


Oleh: Muhammad Hanan*
            Dirumahku TV 14 in itu masih menyala menemani kesehariannya. Sesekali aku berjalan mendekati orang disana yang sedang nonton sambil memakan beberapa cemilan.

            “Itu bikin apa kak .?”Tanyaku
            “Kue brownies, coba kamu lihat nam bagaimana caranya, nanti kita bikin ya.”
            “Iya kak boleh, bentar aku ambil buku dulu buat nyatet.”

            Namaku Anam, aku tinggal dalam sebuah keluarga sederhana. Ayah dan ibuku bekerja sebagai wiraswasta. Ayahku Ridwan adalah orang yang baik dan ramah, selain itu dia adalah orang yang sangat tegas terutama kalau menyangkut urusan agama. Lalu ibuku Nuraeni, dia adalah wanita yang paling baik sedunia, mengerti dan menyayangi anak-anaknya lebih dari siapapun, dia juga sosok yang sangat peduli terhadap keluarganya. Terakhir adalah kakakku, dia bernama Linda. Dia adalah wanita yang sabar, bersemangat dan optimis meski terkadang dia terlihat merenung. Layaknya wanita lainnya, dia juga senang melakukan hal-hal yang sama dengan mereka. Namun ada sesuatu yang membuat dirinya selalu terbatasi untuk melakukan keinginannya.

“Lihat nam, ternyata cara buatnya seperti itu.”
“Iya ya kak, kayanya ngga susah juga buatnya.”
“Habis ini kita buat yuu nam.” Rayunya kepadaku
“Hayuu kak boleh.” Aku menyautnya.

     Nada bicara kakakku selalu tidak jelas, ucapannya terbata-bata dan terdengar tidak beraturan. Kakakku tidak pernah sekolah, dari kecil hingga sekarang berusia 27 tahun dia tidak pernah merasakan pendidikan formal. Namun begitu, dia dapat membaca dan menulis dengan baik. Ayahku yang dengan sabar telah mengajarinya membaca, menulis dan berhitung. Biasanya dia sering memesan buku bacaan atau Novel ketika tahu aku akan pulang dari Bandung. Tentu saja sesibuk apapun, aku sempatkan waktu untuk membeli buku pesanannya. Paling tidak kakakku tidak buta akan ilmu pengetahuan.
  “Nam, kamu siapin dulu bahan-bahannya ya.”
   “Iya ka, apa saja yang perlu aku ambil.” Jawabku

Kak Linda pun melihat catatan yang tadi ku tulis dan menyebutkannya satu persatu.
  • “4 butir telur
  • 80 gram gula pasir
  • 60 gram tepung terigu protein sedang
  • 1/2 sendok teh backing powder
  • 15 gram cokelat bubuk
  • 25 gram kacang tanah bubuk
  • 30 gram dark cooking cokelat, potong potong
  • 1/4 sendok teh cokelat pasta
  • 50 gram margarine,
  Semuanya udah ada dilemari nam, kamu ambil aja disitu.”

  Seperti biasa ketika memasak kakakku pasti membutuhkan bantuan orang lain. Dia tidak bisa menyiapkan semuanya sendirian. Dia hanya melihat lalu mengarahkanku tentang bahan, ukuran dan cara membuatnya. Tangannya tidak bisa bergerak seperti orang lain, yang kiri bisa bergerak namun tidak sekuat tangan pada umumnya, untuk mengaduk atau menguleni adonan saja dia harus mengerahkan seluruh tenagannya, aku sebagai adiknya tentu tidak tega melihatnya. Sedangkan yang kanan sudah sama sekali tidak bisa digerakkan. Pernah suatu waktu ketika dironsen disebuah klinik, aku melihat hasil ronsenannya. Aku pernah belajar biologi, ku lihat tulang lengan kanan bagian atasnya tidak menyatu dengan tulang belikatnya. Saat makan kakakku biasa menggunakan tangan kiri dengan posisi tengkurap dan selalu memakai sendok, dia tidak pernah makan sambil duduk, karena itu justru menyulitkannya.

“Pertama apa dulu kak.?.” Tanyaku
“Pertama nam, kita panaskan dulu margarine, kemudian tambahkan potongan dark cooking chocolate dan cokelat pasta, lalu kamu aduk hingga rata.”

Saat membuat brownies itu aku juga yang biasa bolak-balik dapur, mengambil mixer, oven, mangkuk atau alat masak lainnya. Dia tidak cukup kuat untuk melakukan itu. Ketika ingin buang air kecil dia selalu berteriak memanggil ibu atau ayahku. Kalau kebetulan aku mendengarnya, aku pasti meneruskan teriakannya. Seperti yang ku bilang tadi, bicaranya tidak cukup jelas atau lantang. Untuk berjalan ke tempat berbeda, dia selalu dituntun oleh orang lain. Kaki-kakinya begitu rapuh untuk menopang tubuhnya. Sama seperti tangan juga,  hanya kaki kirinya yang membantunya dan tentu tidak sebaik kaki orang biasa. Lalu kaki kanannya hanya ikut terseret-seret ketika dia berjalan, benar-benar tidak bisa digerakan olehya.

  “Udah kak, terus apalagi nih.?”
Dengan ucapan terbatanya diapun menjawab “Kamu kocok telur dan gula pasir hingga mengembang, terus masukkan tepung terigu, cokelat bubuk dan backing powder sambil diayak dan diaduk.”

     Keseharian kakakku selalu membutuhkan orang lain. Untuk makan ibuku yang selalu mengambilkan untuknya. Ketika memakai baju juga kakakku selalu memanggil ibu atau ayah terlebih dulu. Hidup kakakku tidak jauh dari rumah. Menonton TV, membaca buku, lalu ketika sore tiba, dia biasa duduk dikursi depan rumah sekedar menghilangkan kejenuhannya.
    Sesekali ketika aku pulang dia ingin jalan-jalan dengan dalih mau mengantarku ke Bandung. Untungnya ayah dan ibu mengerti dan selalu bersedia menurutinya. Kami sekeluarga pergi menggunakan mobil pribadi, ibuku selalu menyiapkan semua keperluan keluarga terutama untuk kakakku. Yang paling membuatku kesal adalah ketika diperjalanan saat istirahat, mata-mata itu melihat kakakku seperti melihat hantu. Mereka menatap seperti tidak punya dosa, mereka seperti jijik melihat Linda. Orang-orang tidak punya hati, mereka tidak bisa merasakan apa yang kakakku rasakan. Terkadang juga anak kecilpun yang melihatnya terdiam sambil menatap aneh, menangis atau bahkan lari ketakutan.

  “Nah sekarang kamu tambahkan kacang tanah bubuk terus kamu aduk ya hingga rata.” Katanya sambil berusaha menyodorkan bungkus kacang  tanah bubuk itu.

  Ayah dan ibu tentunnya tidak hanya berdiam diri. Berbagai pengobatan baik yang medis ataupun alternatif sudah pernah dicoba kepadanya. Ayahku pernah tertipu  4 juta rupiah lebih oleh seorang dukun yang sama seperti dukun yang lain, berjanji mampu menyembuhkan penyakit Linda. Pada kenyataannya kebanyakan dari mereka cuma pembual belaka. Maklumlah ayahku orang yang agak percaya hal-hal diluar logika. 
     Ironis lagi ketika Linda dibawa oleh ayah ke seorang dokter ahli saraf terkenal. Setelah diperiksa, ronsen dan lainnya dokter saraf itu menyimpulkan bahwa kakakku ‘gila’. Ya, hanya karena nada bicara Linda yang tidak jelas dokter itu seenaknya saja berargumen. Dia bilang kakakku bicaranya tidak benar dan ngelantur, lalu tingkahnya aneh. Tentu saja ayah tidak bisa terima semua itu. Setibanya dirumah dia mengungkapkan rasa kesalnnya.

  “Apanya yang dokter terkenal. Hanya karena cara bicara Linda yang tidak jelas saja dia langsung  mencap gila. Sudah begitu disuruh ronsen  segala, padahal tidak ada hubungannya sama sekali. Penipu..!!!.”. Begitulah kira-kira ucapan ayah sepulang dari dokter gila itu.

     Terkadang ketika dirumah,  ibu kesal dan memarahi Linda. Apalagi ketika ibu sedang sibuk melayani pembeli ditokonya sedangkan kakakku ingin buang air, makan atau memakai pakaian. Lalu dia memanggil teriak berkali-kali. Kakakku pasti menangis saat itu, dan jujur saja aku sebagai adiknya merasa bahwa Tuhan adil itu hanya doktrin agama belaka. Tentu saja ketika ibu atau ayah tidak menjawab panggilannya, aku yang harus menuntunnya untuk pergi kemana dia ingin. Tanpa sadar dia telah menjadikanku lebih peka dalam memahami dan menghargai orang lain.
     Aku biasa bercanda dengannya, mengobrol dan tekadang saling mengejek juga layaknya adik dan kakak lainnya. Dia kakak yang baik, tidak dia yang terbaik. Dia paling suka ketika aku bercerita tentang hal-hal baru yang kualami baik dikampus, pesantren atau pengalamanku lainnya. Dia pasti mendengarkan sampai aku lelah bercerita.

  “Sudah teraduk rata ka.”Kataku
  “Kalo gitu sekarang kamu masukkan campuran margarin sedikit demi sedikit, sambil diaduk perlahan lahan ya nam.”
“Kenapa ngga sekalian aja ka biar cepet?”
“Nanti hasilnya beda, margarinnya tidak merata di adonan.”

Aku turuti saja sarannya, karena meski sama mengerti kuliner untuk pastry memang dia lebih tahu banyak daripada aku. Ketika aku ditanya oleh teman atau siapapun tentang keluargaku , pertanyaan mereka tentang kakakku hampir selalu sama.

“Kamu punya kakak nam.?”            
“Iya punya,”            
“Perempuan atau laki-laki?”
“Perempuan.”
“Kuliah atau sudah kerja.?”
dengan agak sinis aku menjawab, “Ngga, kakakku dirumah saja.”
  “Ooh, sudah nikah ya?”
  “Ngga, dia cuma dirumah saja.”
  “Oooh, bantu-bantu aja ya?”
  “Ngga juga, dia dirumah saja. Kakakku cacat.”

  Ketika aku sudah melontarkan kata itu barulah mereka terdiam. Di usianya yang 27 tahun ini kata pernikahan adalah hal yang sangat asing bagi kakakku. Setiap laki-laki pasti mendambakan wanita normal yang nantinya mengurus dirinya, bukan seperti Linda yang untuk dirinya saja malah selalu diurus orang lain.

  “Huuh, cape juga kak.” Ucapku sambil mengeluh
  “Sudah selesai ko nam, kamu tinggal tuang adonannya di loyang, tapi sebelumnya diolesi  margarin dan pakai alas kertas roti dulu.”

Aku mulai menuangkan adonan itu ke loyang yang sudah aku siapkan. Lalu akupun bertanya lagi kepadanya

“Dikukusnya gimana kak.?”
  “ Kukus adonannya selama 20 menit aja nam tapi dengan api sedang.” Kata Linda dengan kalem.

  Dibalik tubuh rapuhnya, Linda memiliki bayak mimpi yang ingin dia capai. Dia sering berkata kepadaku ingin ini dan ingin itu, tentu saja senyumku melebar mendengarnya. Setidaknya dia masih memiliki harapan. Bahkan dia selalu ingin tidak terus bergantung kepada orang lain. Dirumah sederhana itu, dia mempunyai usaha kecil-kecilan untuk penghasilannya sendiri. Kakakku berjualan pulsa elektronik, meskipun dia lambat ketika mengetik keypad di HP miliknya. Aku yang mengajarinya cara berjualan pulsa, akun yang sekarang dia kelola adalah akunku semasa SMA saat aku masih bejualan pulsa. Dia lebih membutuhkannya daripada aku yang masih bugar.

  Selain itu, dia juga berjualan pakan ayam dan ternak lainnya. Satu minggu yang lalu aku pulang, ku lihat ayam dan ternak kakakku dirumah sudah lumayan banyak. Dia sewaktu-waktu melihat keadaan unggas-unggasnya dari pintu dapur. Tentu saja, ayah dan ibulah yang mengurus ternaknya. Di toko ibuku, Linda tidak mau ketinggalan. Dia ikut menumpang menjual perabotan rumah tangga dan juga minuman dingin dalam Showcase. Akupun terkadang dikasih uang jajan olehnya, pernah juga dibelikan kopyah dari untung dagangannya itu.

  Kakakku memang tidak mau diam, aku mengerti dalam hatinya yang paling dalam diapun ingin hidup sebagaimana orang kebanyakan. Berjalan, bergaul, menikah dan sebagainya. Jika saja mampu dia ingin melakukan semuannya sendiri. Keterbatasan itu mungkin membelenggu jasadnya, tapi tidak dengan jiwanya. Semangat, optimis, dan tidak mudah putus asa dalam menjalani hidup, itu barangkali yang ingin diajarkan Linda kepadaku. Tidak ada yang tahu rencana Tuhan, mungkin saja itu memang jalan hidup terbaik untuknya.

“Sudah 20 menit lebih nam, coba kamu lihat kuenya.”
Akupun menuju kukusan yang terpajang diatas kompor itu. Ku lihat memang kelihatannya sudah matang. Aku bawa saja dan ku perlihatkan kepada kakakku.
“Segini gimana kak, udah mateng belum.?”
“Iya nam udah, sekarang kamu pindahkan ke piring besar itu,” Katanya sambil melirik ke arah rak.

  Dengan hati-hati aku memindahkan Browniesnya ke atas piring, sesekali aku menjilati manisnya remahan dari kue itu. Sesudahnya aku dan Linda bersama menghias kuenya. Coklat cair kental aku oleskan diatasnya, lalu tidak lupa juga aku taburkan juga potongan kacang tanah. Juga, kakakku menyodorkan chocolatos untuk menambah ramai hiasan diatasnya. Aroma wangi dari kue itu membuat makhluk yang bernama lapar tiba-tiba datang.

 “Sudah jadi kak, ayoo kita kita makaan...”
“Eeit,, eit, bentar, sebelum dicoba, kita foto duluu,hehe.”
“Hmm.. ok ok, “

  Dengan menggunakan kamera diponselnya dari berbagai arah aku memotret kue itu seperti membidik seorang model. Setelahnya kamipun memotong-motongnya. Sebagian, aku dan kakak menyantap langsung saat itu juga, sebagian lagi kami bagikan ke anak-anak tetangga, lalu sebagian lagi kami simpan untuk ibu dan ayah.

*Tulisan ini pernah diposting di Facebook penulis pada: 25 Juli 2014 pukul 22:41

Reaksi:

Post a Comment

0 Comments