Di Bawah Cahaya Bulan Merah


Oleh: Muhammad Hanan*

                Masa putih abu-abu memang masa yang seru, setiap hal yang terjadi selalu menjadi kenangan tersendiri bagi setiap orang, tak terkecuali bagiku. Namaku Imam aku adalah salah satu siswa di SMA Negri 3 Indramayu. Hari-hariku banyak aku habiskan disana daripada dirumahku sendiri. Jarak rumah yang jauh dari sekolah adalah alasan kenapa aku memilih untuk tinggal disana bersama teman-teman yang juga sama sepertiku. Mereka adalah Esa,Udin dan Andri. Tidak ada asrama disana, kami yang tidur dan tinggal disana biasanya seenaknya saja. Tidur kadang dimasjid, diruang tunggu atau di perpustakaan. Toilet sekolahpun menjadi tempat dimana biasa kami mandi. Kami semua akrab dengan keluarga penjaga sekolah disana namanya Pak Wiryo. Kami berempat sudah dianggap anak sendiri. Kami sering makan bersama keluarganya dan sebagai bentuk terimakasih kami juga sering membantu semua pekerjaan beliau. Setiap pagi sesudah sholat subuh kami selalu berbagi tugas untuk beres-beres sekolah, ada yang menyapu halaman, menyapu lantai, mengepel dan membuang sampah. Saat matahari mulai bangun sekitar pukul 06.00 kami biasanya berlarian berebut giliran mandi, tidak jarang kami juga kadang tertangkap basah terlihat masih mengenakan handuk saja oleh siswa yang berangkat pagi. Setelah semuanya beres, baru kami bersiap-siap untuk masuk kelas. Aaah... ada-ada saja kami ini...

                Tidak terasa hari itu semua kegiatan kami sudah terselesaikan. Kamipun berkumpul makan malam dengan Pak Wiryo dan keluargnya. Ikan asin, tempe goreng, sayur asem dan sambal terasi buatan Ibu selalu setia menjadi sahabat makan kami. Sambil makan biasanya kami berbincang-bincang sambil kadang bercanda  bersama mereka.

 “Sa, itu ada mangga di ember, ambil saja buat kalian.”
 “Baik pak.”                
“Mam gue punya prtanyaan nih .” ujar Udin.
“Apa din ?
“Kalo ada mangga jatuh enaknya diapain tuh ?.”
“ Ya diambil din terus dimakan.”
“Ah ngga mungkin, loe mah anak IPA paling kalo ada mangga jatuh loe mah di hitung dulu berapa tingginya dan berapa gaya gravitasinya, kelamaan bro keburu minggat tuh mangga.”
“Wah sialin loe din, ngga gitu juga kalee.”
“ eittss tunggu dulu, kalo gue beda lagi bro.” Saut Esa menyela percakapan kami.
"Kalo loe mau diapain sa.?” Aku membalas.
“Gue mah anak agama, kalo ada mangga jatuh kita telusuri dulu punya siapa, biar jelas halal atau haramnya.”
“aaaah gue tahu kelakuan loe sa, biarpun ngomong gitu tetep aja diembat juga.”
“ahahaha... Sialan loe din.”
Dari kejauhan Andri menyaut sambil datang menjinjing sejumlah buah mangga.
“Emang kalo loe mau diapain din.”
“Kita kan anak IPS dri, jadi kalo ada mangga jatuh kita ambil mangganya terus kita jual dech biar dapet duit.” “Kampreeeet loe din.” Saut Esa.
“Bocaah Sempruuuul.” Aku menyela.
“ bener kamu din, pinter juga ni bocah” Andri yang sejurusan membelanya.
“Udah-udah bapak mau masuk dulu, sudah malam cepat kalian tidur.”
“iya pak, biar kami yang membereskan piringnya .”

  Selesai membereskan perlengkapan makan kami membiarkan langkah kami menuju masjid. Sebelum memejamkan mata kami biasa nongkrong diteras masjid, saling bercerita, bercanda , dan membicarakan hal-hal Geje tanpa judul yang jelas. Sesaat mataku mulai teralihkan oleh HP ku yang menyala karena ada SMS dari temanku.

  “Mam hati-hati, ada Kabar kalo sekarang penculik lagi deket pom bensin sekitar SMA N 3 Indramayu.”

  Aku tunjukkan SMS itu kepada semuanya. Kamipun lumayan terkejut mendengar kabar itu, bagaimana tidak itu artinya sama saja kami harus melindungi sekolah ini. Akhir-akhir ini di Indramayu memang menggema kabar penculik yang biasa memutilasi korbanya untuk diambil organ tubuhnya lalu dijual. Rasa takut dan khawatir mulai mengepung kami berempat. Hasrat kami ingin memberitahukan kepada bapak namun kami enggan untuk mengusik waktu istirahatnya. Akhirnya kami sepakat untuk berjaga dan tidak tidur malam ini.

  Kami mulai berunding, memikirkan berbagai cara untuk menjaga sekolah ini. Satu persatu dari kami mulai mencari apapun untuk menjaga diri. Udin dan Esa mengambil golok dan parang yang ada didapur bapak, sedangkan aku dan Andri pergi ke perpustakaan untuk mengambil tongkat lempar gala yang ujungnya runcing seperti tombak. Senterpun tak lupa kami bawa untuk mengusir kegelapan malam itu.

“Baiklah, apa yang harus kita lakukan.?
“Sekolah ini luas, sepertinya kita harus berpencar menjaganya.”
“Kalaupun berpencar kita harus menjaga tempat-tempat tertentu saja, ingat kita hanya berempat.”
“apa maksud loe mam ?."
“Jika kesini mereka pasti mengincar sesuatu yang berharga disekolah ini. Harus ada yang menjaga Lab komputer, Lab IPA, kantor guru, dan disekitar bapak."
“Baiklah Gue dan Udin akan menjaga Lab. Komputer dan Lab IPA.” Ujar Esa
“Kamu jagalah kantor guru mam, biar aku yang menjaga disekitar bapak.” Andripun menyaut

  Kamipun berpencar ke setiap sudut disekolah itu. Satu-persatu setiap lampu kelas dan lorong sekolah kami hidupkan untuk mengusir rasa takut yang hinggap dan memudahkan mata kami menelaah. Setelah sampai  Udin dan Esa lekas berjaga didepan ruangan Lab sedangkan aku terus berjalan menuju kantor guru. Aku paksa  mataku untuk melawan malam dan kucancang kaki untuk tetap berjalan.

  Setengah jam telah berlalu, aku dikejutkan oleh Udin yang berlari ke arahku dari arah Lab IPA. Raut wajahnya terlihat cemas tidak karuan sementara pupil matanya tampak mengecil .

“Ada apa din, kenapa kamu ini ?
“Ttte..tee..tengkorak, tengkorak di lab itu gerak sendiri lalu tertawa. Dimalam hari dia ternyata hidup.” Ucapan  Udin terdengar terbata-bata.
“Baiklan din tenangkan dirimu dulu.”

  Sesaat kemudian Esa pun mengampiri kami di depan kantor guru, dia melangkah lambat, tapi aku perhatikan raut mukanya tidak jauh berbeda dengan Udin.

“Jadi loe juga sama kaya gue din.”
“Apa maksudmu sa?”
“Gue juga di lab ngedenger suara wanita Nangis Mam, terus berubah jadi ketawa. Lama-lama gue khawatir jadi gue putusin keluar buat nemuin kalian.”
“Sial, ternyata  tanpa kita sadari sekolah ini banyak setannya.”Ucapan Udin terdengar kesal
“Maklum din, meskipun siang rame, tapi kalo malem sama aja kaya bangunan kosong.” Ucapku kepadanya.

                Kami memutuskan menemui Andri disekitar bapak. Rapat kami mulai lagi untuk memikirkan cara terbaik menjaga sekolah ini. Satu –persatu ide terlontarkan dari pikiran masing-masing. Akhirnya, kami memutuskan untuk tetap berkumpul menjaga sekolah ini.  Terpilihlah lapangan basket sekolah menjadi tempat kami berkumpul. Hitamnya langit malam dengan bintik-bintik bintangnya tampak nyata terbentang diatas kepala kami . Kami duduk melingkar dengan saling membelakangi satu sama lain agar kami dapat mengawasi setiap penjuru sekolah itu.

  Malam semakin larut dan rasa kantuk terasa mulai menggumuli tubuh. Aku baru tersadar jarum jamku semakin jauh berputar. Pukul 02.00 pagi, lolongan anjing melengkapi angin dingin yang  membangunkan bulu romaku. Sesaat Andri berbisik diantara kami.

 “SSst,, hey apakah kalian merasakan sesuatu yang janggal ?”                
“Tidak dri, kami tidak melihat apapun.”                
“Bukan itu, aku sempat mendengar beberapa suara hentakan sepatu.”
 “Apapun yang terjadi kita jangan sampai terpisah.”
  “Wuuuusssssshhhhhh.. jeeeeeep”

  Aku terbelalak melihat sebilah pisau yang hampir menembus kepalaku. Aku  terkaget hingga menghentak jantung, ajal hampir saja menyapaku. Untungnya pisau itu hanya tertancap di pohon sekitar lapangan tanpa ada yang mengenai kami.

 “Hampir saja loe Mam, darimana arahnya.?” Saut Udin.                
“Kantor guru din, cepat kita kesana.”

        Kami berlari ke arah kantor guru lalu segera masuk, meski khawatir dan takut masih mengusik, kami tidak pedulikan semua itu. Udin dan Esa mulai melolos golok dan parang mereka, aku dan Andripun tidak lengah segera memegang kuat tongkat gala kami. Tidak ada pilihan bagi kami selain menghadapi semua ini.

 “Tidak ada siapapun disini.”Ujar Andri
 “Gue heran kenapa mereka mengincar kantor guru.”                
“Iya ya sa, kenapa ngga lab komputer aja padahal kan kalo dijual harganya mahal.”
 “Kalian lupa, yang mereka jual adalah organ tubuh manusia.”
 “Apa maksudmu Mam ?” Tanya Andri.
“Mereka ke kantor guru bukan untuk mencuri apapun disini. Tapi lebih tepatnya untuk mencari data guru disini.” “Tapi untuk apa mereka mencari data-data guru kita.?
“Dari arsip data itulah mereka akan mengetahui identitas ,nomor telepon, dan alamat mereka. Hal itu mempermudah mereka untuk mendatangi korban mereka. .” Ucapku kepada mereka.
“Dengan kata lain guru-guru kita menjadi target mereka selanjutnya.” Balas Andri
“Siaaal, kita tidak bisa membiarkan hal ini terjadi.”
“Tenanglah din, kita pasti bisa menangani ini.” Esa berusaha menenangkannya.

  Mataku masih menelusuri setiap sudut di ruangan itu sampai tidak ada yang ku biarkan terlewat begitu saja. Tidak bisa dipungkiri kaki-kaki kami bergetar tanpa kami sadari. Selang beberapa saat kami dikejutkan lagi dengan lemparan pisau kedua yang hampir mengenai lambung Esa. Nampak sesosok Pria tinggi muncul dari salah satu meja guru. Disusul oleh sosok-sosok lain yang rupanya mulai tak betah bersembunyi.  Cahaya bulan malam itu tidaklah cukup untuk menjelaskan wajah mereka. Saklar lampu kami hidupkan untuk menuntun pandangan kami.

  Satu, Dua, tiga, enam, ya benar mereka adalah enam orang pria, empat orang bertubuh tinggi kekar dan dua orang gemuk bertubuh sedang. Sebagian mereka memakai jaket hitam dan yang lainnya mengenakan kaos panjang. Ditangan mereka menempel sebilah pedang samurai tajam berkilau. Pasang mata mereka menatap tajam, menyuratkan akan keinginan untuk membunuh kami berempat.
“Tidak disangka kalian para bocah lumayan berani juga.”Ucap salah satu dari mereka
“Masih muda, lumayan harga organ tubuh kalian jauh lebih mahal.” Berkata salah satu penculik yang lain dengan menatap seram.

  Kami berempat sempat berbisik satu sama lain. Tidak ada cara lain kecuali melawan mereka. kami memilih keluar dari kantor guru agar tidak memberantakan peralatan disana.

“Sriiiiiiiiiiingg...” terdengar desingan lolosan pedang mereka.
“Din awas dibelakang.”Andri mencoba memperingatkan Udin
“huuuuuh hampir saja.”                
“Dri, merunduk.”Esa menyeru Andri
“Berhati-hatilah, kalau lengah kita bisa mati disini.” Kataku kepada mereka

  Lapangan basket seketika menjadi arena gulat antara kami melawan para penculik. Dibawah hitamnya langit pedang-pedang mereka menari seram. Dentingan senjata-senjata kami yang beradu menyibakan kesunyian malam itu sedangkan bulan terlihat saru melihat perkelahian kami. Untungnya tidak ada yang membawa senjata api diantara mereka. Kami sekuat tenaga melawan dengan beberapa gerakan silat,tidak sia-sia Ilmu silat yang diajarkan oleh Pak Wiryo. Setidaknya Kami sempat mendaratkan beberapa pukulan diantara wajah mereka. Namun apa daya perbedaan postur tubuh , senjata dan ditambah jumlah kami yang tidak seimbang membuat kami benar-benar kewalahan menghadapi mereka. Ditengah keadaan genting seperti itu Udin malah berlari entah kemana.

“Kampreeet, dia malah kabur.”                
“Tenanglah sa, kita masih bisa menahan mereka.”

  Nafasku mulai terengah-engah tidak beraturan dan tatapan matakupun tidak karuan. Diantara pandanganku aku melihat Esa dan Andri tersungkur ditanah. Dihadapanku berdiri tiga orang dari mereka, aku sempat melawan namun aku tidak menyadari kehadiran seseorang dibelakangku. Aku sempat menoleh, tapi aku tidak dapat mengelak hantaman gagang samurai yang menhantam keras kepalaku. Terakhir yang ku lihat hanyalah kilauan dari salah satu pedang mereka.

“Aku pasti mati.”Aku menggumam dalam hati dengan diri yang berpasrah terhadap nasib. Biarlah aku mati disini, paling tidak kematianku dapat menyelamatkan orang lain.

  Tidak sempat aku lama terpejam, ada suara erangan mesin yang mengusik telingaku. Meski terbaring mataku sempat meraba darimana arah mesin itu, yang aku ingat bahwa hanya ada satu mesin yang mengeluarkan suara nyaring seperti itu.

“dugu..dug..dug..dug..dug.dug.. Ngeeeeeeeeeerrrrr...wiiiiissssshhhhh...”

  Tidak salah lagi itu adalah suara mesin pemotong rumput yang biasa dipakai Pak Wiryo. Suara itu tidak asing karena aku sering mendengar suaranya ketika beres-beres kebun. Mesin itu biasa dijinjing pak Wiryo. Salah satu lubang mesin itu tersambung dengan pipa besi panjang yang pak Wiryo biasa memasangkan lempengan besi tipis diujungnya lalu berputar cepat sesuai dengan irama mesin.
Suara itu terus mendekati tubuhku yang terkapar ditanah. Selang beberapa saat aku melihat sosok udin juga mendekat juga. Ternyata mesin itu dijinjing olehnya. Udin ternyata memilih kabur sesaat untuk mengambil  mesin itu lalu digunakan untuk melawan mereka.

“Ayoh majulah kalian, lawan gue kalo berani.” Teriak nurdin sambil menebas-nebaskan mesin pemotong rumput ditangannya.
“Kurang ajar, kita tidak mungkin melawannya.” Celoteh salah satu penculik.
“Lemparkan data guru itu lalu pergilah dari sini.”

  Samar-samar aku melihat Udin membentak sambil menodongkan mesin rumput itu kearah mereka. Meski aku merasakan masih ada ketakutan menyisip dalam suaranya. Namun usahanya tidak sia-sia, para penculik itupun memilih mengikuti perintah Udin untuk pergi. Mereka  lekas hengkang menuju gerbang sekolah lalu memasuki mobil APV yang mereka parkirkan disana. Tak berapa lama mereka menyingkir pergi dari pandangan kami.

Nurdin lalu mematikan mesin yang masih dia jinjing. Dia menghampiriku lalu meniti tubuhku untuk bangun.

“Bangunlah mam, loe ngga apa-apa kan.”                
“Iya din, aku baik-baik saja. Mana yang lainnya ?”
“Itu mereka.”

Terlihat Esa dan Andri berjalan berdua sembari saling menitih.

“Kalian tidak apa-apa ?”Tanyaku padanya.
“Santai aja mam, Gue dan Andri juga ngga apa-apa.”

   Pukul setengah empat pagi. Kami menuju masjid lalu membersihkan tubuh kami yang kotor. Perih terasa ketika memar pada Kaki,tangan dan wajah kami terbasuh oleh air. Kemudian Kami memilih masuk ke ruangan DKM masjid lalu beristirahat sejenak. Lelahnya malam ini menyeret mata kami untuk tidur tanpa kami sadari.

 Sayup-sayup tedengar suara wanita yang sungguh mengusik telingaku.

 “Mam, dri, din, sa. Dasaaaaaar kalian masih pada tidur,bangun sudah setengan enam, cepat sholat terus beres-beres. Bapak sudah bangun dari tadi kalian masih pada tidur.”
  Omelan ibu pagi itu mengagetkan kami hingga terbangun. Kami langsung terburu-buru sholat shubuh lalu lekas beres-beres teras masjid, kelas dan halaman sekolah. Selesai menyelesaikan semuannya kami berebut memasuki Toilet sekolah untuk mandi. Kamipun tertangkap basah lagi masih mengenakan handuk saja oleh salah satu siswa perempuan yang berangkat pagi. Malu memang tapi aaaaah abaikan saja, kepalang tanggung.
  Setelah semuanya selesai  kamipun berpisah untuk masuk ke kelas kami masing-masing. Aku bertemu lagi dengan teman-teman kelasku. Senyum, tawa , guyonan , ledekan seperti biasa menghiasi suasana kelasku. Selang berapa lama salah satu gurupun datang dan memulai pelajaran pertama hari ini.             
  Senang sekali melihat mereka semua tersenyum bahagia tanpa tahu apa yang baru saja terjadi tadi malam disekolah ini.

*Tulisan ini pernah diposting oleh penulis di situs jejaring sosial Facebook pada 2 Maret 2014 pukul 20:13

No comments

Powered by Blogger.