Miracle of Intention



 Oleh : Abdul Lathief*
Selasa, 7 Februari 2012.  Kaki kecil kami mulai melangkah, menyapa debu jalanan. Peci hitam kusam yang tak jarang beralih fungsi mejadi dompet itu terpasang gagah. Setia menemaniku kemanapun aku pergi. Sampailah kami di tempat rapat, sebuah tempat yang sangat luas. Sebagian orang berlarian mengejar bola, canda tawa menggema, melengkapi kecerian gratis sore itu. Gress begitulah orang–orang menamai tempat itu. Hamparan tanah memanggil, kami segera membentangkan sandal Swallow  untuk di jadikan tempat duduk. Di temani es kelapa muda yang telah kami beli sebelumnya, yang katanya mempunyai kandungan anti oksidan untuk mereduksi efek radikal bebas. Sang komandan memimpin rapat, rapat yang selalu kami selipkan tentang suatu impian, impian yang mungkin mustahil. Impian yang terkadang menjadi bahan ejekan orang lain. Impian yang selalu kami gantungkan diatas langit agar kami dapat terus melihat nya. Matahari mulai terbenam, mengakhiri rapat esensial kami, sebuah rapat remeh yang entah mengapa, selalu membentak kami agar melangkah lebih jauh lagi.

Penulis Saat Menikmati Musim Salju


Beberapa tahun berlalu. Para siswa sibuk mempersiapkan berkas–berkas untuk masuk Universitas. Berbeda denganku, si hati kecil masih menguasai sebagian tubuhku, enggan menyentuh rentetan Universitas yang ditawarkan. Setelah sekian lama menunggu, akhirnya jawaban Tuhan datang. Di saat keresahan semakin menusuk, tanpa di duga KH. Arwani Syaerozie sang guru inspiratif menawarkan pendidikan di luar negeri. “Allohu Akbar teriak si hati kecil !!!“
Setelah elaborasi yang cukup matang, akupun memberanikan diri mengadu nasib dengan mengikuti prosedur yang ada.
Hasil penerimaaan mahasiswa baru sudah di publish, beranda medsos ku penuh dengan berbagai kegiatan ospek, sementara aku masih frustasi menunggu hasil dari Tunisia yang juga belum keluar. Dan gila nya lagi, aku tak pernah melirik untuk kuliah di Indonesia. Planing yang aku rancang pun berantakan, hanya bisa sabar menunggu jawaban yang agak PHP, tak jelas kapan akan di umumkan. Aku hampir putus asa, namun tekad bulat menyelamatkanku. Akhirnya,  untuk mengisi kantung, akupun bekerja di sebuah pabrik. Pekerjaan yang di anggap remeh oleh kebanyakan orang. Tapi bukan aku jika hanya melihat ke satu arah, ada banyak harta karun yang perlu aku gali. Sayang, sebulan setelah itu pabrik bangkrut karena masalah budgeting yang tak terkendali, akupun hanya di gaji ala kadarnya. Dan aku hanya bisa tersenyum menggaruk kepalaku sambil berkata , “Banyak jalan menuju Roma ......”
Benda mungil di ranselku bergetar tak nyaring, aku yang menyadarinya langsung menghampirinya. ‘’Huh”  hanya promo tak penting dari operator. Beberapa saat kemudian benda mungil itu kembali beraksi, akupun kembali menghampirinya. “Sial”, kini pemberitahuan masa tenggang, pertanda aku harus segera membeli pulsa. Si benda mungil pun tertawa puas, seakan mengerti apa yang terjadi. “Kring Kringggg “ benda itu berulah lagi, aku tak peduli, kubiarkan dia menjerit, aku tau dia mempermainkan ku lagi. Namun rasa penasaran mengalahkanku dan akhirnya aku pun menghampirinya. Beruntung, bukan sebuah promo dan pasukan sejenisnya lagi, melainkan pesan singkat dari sahabatku, sang komandan yang dulu memimpin rapat, sebuah “ucapan selamat”.  Mulutku terbungkam sejenak, detak jantungku seakan berdetak 10 kali lipat lebih cepat, aku coba meneliti pesan itu, jangan – jangan ini hanya halusinasi atau mungkin tipu daya si benda mungil. Tak puas, dengan jari yang masih bergetar aku segera membuka internet dan akhirnya kesabaran itu berbuah, dengan barokah para Ulama, Tuhan mengizinkanku untuk melanjutkan skenario hidupku di bumi Ibnu Kholdun. Si benda mungil pun tersenyum, haru. “Alhamdulillah ...... !!”
Tak terasa jalanan membawaku begitu cepat, setelah miss komunikasi beberapa kali, akhirnya aku dan kawan kawan seperjuangan telah berkumpul, Minus Saura. Tiba saat nya aku harus meninggalkan keluarga, teman – teman dan Indonesia. Pintu gate di buka, tanda si burung besi telah siap lepas landas.  Akupun sibuk berpamitan menyalami para pengantar. Tangan ku tiba tiba terhenti di satu tangan yang tak lagi asing, tangan yang tidak lagi sekuat dulu, tangan yang selalu bisa membuatku berdiri kokoh . Suasana berubah haru seketika, ku raih dan ku cium tangan itu. Kelopak mata ini berusaha menyembunyikan  kesedihan, menahan gelombang air yang hampir membanjir di dalam nya. Namun akhirnya sang kelopak  gigit jari, setetes air jatuh, tak kuasa melihat ibu, seorang pahlawan hidupku, yang telah dulu mengalirkan air mata  lewat mata sayunya. Ku dekap tubuh nya, “Terima kasih banyak bu, maafkan aku dan doakan aku bu..... “.
Sebelum keberangkatan , kami mendapat pengarahan dari pak kyai, tentang prosedur yang harus di lewati. Sebelumnya aku pun sempat membaca artikel yang telah di share oleh kakak - kakak PPI, namun sayang ini pertama kalinya aku naik si burung besi, telingaku masih buta dengan istilah – istilah menggelikan itu.  Tak apa, bersenjatakan ilmu dan bertameng akhlak dirasa cukup untuk bisa menuntaskan misiku kali ini.
Prosedur demi prosedur telah aku lalui, penimbangan koper, pemeriksaan obat – obatan hingga pemeriksaan puluhan batu akik yang di bawa salah satu kawanku pun berjalan mulus. Kini kakiku menginjak disebuah ruangan yang tampak kaku di kelilingi begitu banyak WNA. Tentu saja hidung mancung dan lubang hidung lonjong  menjadi indikator utama dalam benak ku. Kulitku bergeming tegang masih belum terbiasa dengan apa yang aku lihat. Euforia unik ini belum pernah aku rasakan sebelumnya.(Baca Juga: Belajarlah Dari KBS)
Aku dan para WNA lainnya berduyun duyun meninggalkan ruangan itu, menuju sebuah lorong. Sejenak, lorong itu mirip lorong waktu yang aku toton di film–fim horor, mungkin efek atmosfer tengah malam, gelap dan sunyi. Ternyata  lorong itu berujung pada sebuah pintu yang di kawal para pramugari kawakan. Ku lewati pintu itu merangsek masuk bersama penumpang lain nya, lalu aku gunakan insting dan sedikit bantuan pramugari untuk menemui tempat duduk. Si burung besi mulai mengepakan sayapnya , membawaku mendekap langit. “Ya, di atas sini aku bisa melihatnya dengan lebih jelas !!!”  gumamku dalam hati.
Setelah beberapa jam mengudara, si burung tampak lelah, akhirnya ia menukik ke sebuah bandara di Qatar. Bandara yang cukup besar, aku terus berjalan menelusuri jalanan tanpa debu ini. Sepatuku berdecit berhenti di sebuah ruang tunggu, aku beristirahat di sini sejenak. Sampai akhirnya si burung besi manyapaku lagi. Sebuah bis menjemput ku, mengajakku berkeliling mengitari kandang si burung besi. Tampak para petugas dengan lihai memberi makan burung – burung itu.  Bis ini kemudian berhenti di sebuah lorong, mirip lorong para pemain Persib yang sering aku lihat di Jalak Harupat, namun yang ini agak menanjak. Tak lama setelah itu, si burung melakukan pemanasan, lalu melesat di udara. Sementara aku, merapatkan selimutku dan terlelap.
“Deg deg” guncangan itu membangunkan tidur lelap ku. Sepertinya si burung akan mendarat, perlahan tapi pasti ia menurunkan tekanan sayapnya, menampung udara lalu menyelesaikan tugasnya.
Bang Haris telah menunggu di ujung sana, aku bergegas mempercepat langkahku yang masih sempoyongan. Mengambil barang – barang lalu menuju suatu ruangan. Telah berdiri beberapa orang menyambut kami. Sungguh, sambutan yang luar biasa hangat.  Disisi lain kutatap beberapa wajah yang tak lagi asing, walaupun  dengan style keren yang berbeda, aku tetap dapat mengenalinya. Ka Labib dan ka Azmi, yah mereka para ustadz-ustadz ku di Ponpes Babakan, Ciwaringin, Cirebon, tepatnya Assalafie. Sambil berbincang – bincang ringan, kami keluar dari bandara Tunis. Ka Labib mengambil alih kendali trolly ku, bergerak cepat menembus kerumunan bule di depannya. Meliak liuk ala si kasep Konate Makan. Tak ayal, para bule kocar kacir menghindari terjangan trolly kami yang semakin cepat. Berberapa menit kemudian, aku berhasil keluar dari bandara. Selanjutnya ka Mail dengan sigap menghentikan sebuah taksi. Taksi dengan stir di sebelah kiri, hal unik pertama yang aku temui di negeri Al-Khadra ini.

Menara Mana Yang Akan Kau Pilih?

Akhirnya misi terselesaikan. Inilah Tunisia, negara eksotis di penghujung benua hitam. Sang surya tersenyum lebar, menyapa bumi yang kaya akan sejarah ini. Sekilas, udara ini mirip udara Cirebon, namun ternyata lebih menyengat dari apa yang aku duga. Bangunan rumah putih berbaris rapi, berkolaborasi dengan langit biru nan indah menambah value estetika negeri ini. Tiba–tiba bisikan langit membuyarkan lamunan ku “Masih banyak yang harus aku raih !!!.”

*Dedikasi perjuangan sahabat saya yang sedang menempuh pendidikan tinggi di Universitas Zaitunah Tunisia
Reaksi:

Post a Comment

0 Comments