Peneliti luar negeri yang mengikuti perkembangan Nahdlatul Ulama (NU), Martin Van Breinessen menyebutkan bahwa di masa silam Kiai As'ad Syamsul Arifin menjadi salah satu ulama paling berpengaruh di Jawa.
Bahkan, pada masa penjajahan, Pesantren Sukorejo yang didirikannya tidak hanya dikenal sebagai lembaga pendidikan agama, tapi juga markas perjuangan.
Pesantren Sukorejo berkembang pesat dan pada tahun 1980-an menjadi salah satu pesantren terbesar di Pulau Jawa. Pesantren itu tidak hanya menawarkan pendidikan tingkat menengah, melainkan juga pendidikan tinggi Islam.
Kiai As’ad juga dikenal memiliki ilmu silat, kekebalan dan kanuragan. Ilmu itu disempurnakan dengan beberapa wirid dan amalan yang dilakukan selama hidupnya.
Inspirator Kiai As’ad terkait ilmu silat, kekebalan dan kanuragan tidak lain ialah ayahandanya sendiri, yakni Kiai Syamsul Arifin. Kiai Syamsul pernah menjelaskan kepada anaknya betapa pentingnya ilmu silat bagi seorang kiai.
“Lah, kamu ini mau jadi kiai kok tidak bisa pencak! Mengetahui pencak itu sunnah! Tidak ada sahabat nabi yang loyo! Mereka itu gagah,” ujar Kiai Syamsul.
Selanjutnya, Kiai As’ad berguru kepada Kiai Abdul Majid yang dikenal dengan ilmu kanuragannya. Mempelajari ilmu kanuragan menjadi medium perjuangan dan dakwah. Melalui ilmu itu, Kiai As’ad berjuang mengusir penjajah.
Selain itu, beliau juga menggunakan ilmu ini untuk berdakwah di kalangan “hitam” seperti preman, bramacorah, dan kaum pinggiran lain. Dakwah Kiai As’ad tidak terbatas di musala, masjid, dan pengajian umum, melainkan juga turun langsung menemui kalangan “hitam” di masyarakat.
Sebelum melakukan dakwah pada kaum pinggiran, Kiai As’ad mengirim meminta orang kepercayaannya untuk mendata para preman paling ditakuti di masyarakat. Setelah data didapat, Kiai As’ad meminta dipertemukan dengan mereka.
Uniknya, pertemuan mereka segera mewujud jadi akrab. Para preman seperti menemukan keakraban, ketenangan dan kenyamanan pada diri Kiai As’ad. Dengan demikian, mudah bagi Kiai As’ad untuk mengatur tema obrolan, yang tak jarang diselingi humor sehingga menambah suasana keakraban.
Para preman itu pulang dengan membawa cerita mengesankan pertemuannya dengan Kiai As’ad. Mereka mengabarkan itu kepada para preman yang lain. Bahkan, para preman yang paling ditakuti itu juga mengingat bacaan-bacaan yang disampaikan Kiai As’ad. Berkat pertemuan itu, para preman sontak tertarik dan ingin bertemu Kiai As’ad. Bagi mereka, Kiai As’ad bak pohon rindang yang sejuk dan meneduhkan.
Setelah berhasil menaklukkan para preman, Kiai As’ad mengorganisir kekuatan mereka untuk medium perjuangan melawan penjajah. Selain itu, mereka juga selalu dilibatkan dalam berbagai kegiatan di Pesantren Sukorejo, seperti mengumpulkan kebutuhan logistik dan menjaga keamanan dalam kegiatan Munas dan Muktamar 1983-1984, pembangunan pesantren dan kegiatan lain.
Pada sebuah kesempatan, Kiai As’ad menjelaskan alasannya melibatkan kaum “hitam” dalam berbagai kegiatan di pondok pesantren.
“Saya meminta bantuan Pelopor dalam membangun Pesantren Sukorejo, mengapa? Mungkin yang masih seneng maen (judi, red) lantaran ikut mencari bambu akan berhenti maen, yang masih senang mencuri berhenti jadi maling berkat membantu pesantren”.
Paguyuban santri Kiai As’d yang terdiri dari mantan preman, penjudi, perampok, pembunuh, dan orang-orang yang memiliki catatan hitam di masyarakat ini dikenal dengan nama Pelopor. Kiai As’ad mengayomi mereka, bahkan hingga memberi jaminan sampai ke akhirat kelak.
“Siapa saja bajingan yang bahkan melakukan dosa paling berat pun tetapi ikut perintah dan arahan saya, kelak di akhirat bergabung, kalau tidak ada di surga saya akan mencarinya,” tegas Kiai As’ad. (Sumber: Ala NU)
0 Comments