Jodohku di Tangan Dukun

“Apa yang harus aku lakuin kang? Orang tua belum sreg” terang dia

“Emang tidak sreg kenapa?” Tanyaku

“Hitungan angka weton ku sama dia tidak cocok, katanya dimasa depanku dan dirinya tidak akan pernah bahagia, pernikahan kami tidak akan lama” tiba-tiba suasana hening, dia sangat tertekan dengan hasil perhitungan itu. Menurut mitos yang sudah turun temurun ada, hitung menghitung dalam budaya orang Jawa sangat kental, jika angka-angka tersebut melenceng dari rumus yang ada maka hasilnya adalah musibah dan marabahaya.



“bukanya masa depan, kematian , rejeki dan jodoh adalah rahasia Allah, kenapa orang tua jaman dahulu malah mempercayai paranormal untuk menentukan keputusannya ya kang? Bukankah itu tidak logis? Bahkan itu musyrik” sambung dia dengan muka merah padamnya bentuk dari kekesalannya.

Aku sangat kenal dirinya, dia adalah orang yang selalu melogiskan sesuatu apapun yang menurutnya tidak masuk akal tidak akan dia terima, apalagi mempercayai paranormal dia sangat anti, menurutnya:“Sains adalah logis metafisika hanya mitos” aku mendengar slogan itu ketika dia baru saja memenangkan olimpiade IPA tingkat Nasional 7 tahun lalu.

Dan kini dia termangu bimbang dan tidak percaya sama sekali dengan keputusan kedua orang tuanya, mereka keukeh pada keputusan dukun.

“Ibu, jika anak ibu dijodohkan dengan gadis ini, kehidupan dia bersama pasangannya tidak akan pernah bahagia, bisikan  langit dan hitungan alam berkata seperti itu” Ki Sono mulai menjelaskan hasil terawangan alamnya

“Loh, apakah benar seperti itu Ki?”Tanya bapak temanku

“Benar, dilihat dari bentuk mukanya saja yang kurang simetris bukti dimasa depan rejeki anak bapak sempit, belum lagi hitungan alam membuktikan dia orang susah diatur oleh suami, dan itu membuat anak ibu dan bapak selingkuh dengan wanita lain” terang Ki Sono pada bapak dan ibu temanku.

Sontak setelah mendengar keluhan sahabatku, aku terdiam mulai mencari-cari solusi yang tepat buat masa depannya.

“Gimana kalau kamu nikah lari aja bro? Hehe” ucapku cengengesan.

“Ah kamu, sumbu pendek. Aku ngga mau durhaka” Jawab dia kesel.

“Ahaha... Terus mau kamu gimana?”

“Aku mau sama Winda saja, tapi orang tuaku masih ngotot jangan sama dia, dia bukan jodoh katanya”

“Katanya atau  dukun?” Ledek ku

‘Ya dukun sih bukan kata mereka, aku sih merasa aneh ini abad 21 era teknologi dan sains menguasai dunia dan  hal apapun bisa dibuktikan keduanya. Tapi tentang jodoh mengapa orang tuaku malah lebih percaya dukun daripada ilmu pengetahuan” kali ini emosinya mulai terpancing.

Meskipun dia sangat percaya sains namun dia dan aku pernah belajar agama disurau pak Haji Amud, dia guru ngaji yang menuntun kami hingga dewasa kini. Koridor akal sahabatku dibatasi dengan pengetahuan dan pemahaman agama.

“Tapi aku ngga mau dianggep durhaka cuman gara-gara jodoh saja” lanjutnya.

“Loh, kalo kaya gitu kenapa kamu nurut aja sih sama orang tuamu bro” saranku.

“Aku sudah cinta banget sama dia, sudah lama. Tidak ada wanita lain yang sebaik dia, aku bersyukur memiliknya setelah bagian hatiku yang lalu sudah ke surga” wajahnya tertunduk lalu mendengak ke langit-langit café yang kita tempati, dia berusaha menahan air matanya yang jatuh.

“Kalo teringat almarhumah hatiku teriris, dia wanita terbaik tapi Allah jauh lebih sayang padanya, dan setelah bertahun lamanya aku menemukan wanita yang sepertinya kenapa harus seperti ini” wajahnya tertunduk, basah air mata membanjiri meja makan kami.

“Kamu benar, almarhumah wanita terbaik yang pernah singgah dihatimu. Namun, dia sudah tenang bersama Allah” aku berusaha menguatkan dirinya, dari dulu dia susah move on dari kekasihnya yang telah wafat 4 tahun lalu, dia sakit parah karena  penyakit tifus dan komplikasi.

Detik berlalu dengan keheningan, aku menghisap cappuccino ku yang tinggal setengah, ini gelas kedua pesananku. Kami sering melepaskan akhir pekan bersama di kafe Banyu Biru, disinilah kami sering membuang keluh-kesah sebagai seorang sahabat, menceritakan apapun hingga lupa waktu.

“Bro gimana kalau kita bertemu dukun untuk memecahkan masalah ini?” usulku memecah keheningan.

“Maksudmu gimana? Kamu tahu aku orang yang tidak suka hal metafisis kan?” dia balas bertanya.

“Iya, masa aku lupa sih kamu salah satu mahluk bumi yang percaya sain dan ilmu pengetahuan diatas segalanya, untung ngga atheis hahaha” ledek ku.

“Ahahah sialan, gini-gini juga aku rajin sholat dan nurut sama perintah orang tua”

“Tapi suruh nurut hasil dari dukun ko ngga mau” ledek ku lagi.

“Bacot ah…” tangkisnya.

“Emang  kamu punya kenalan dukun?” dia balas tanya.

“Ada kata pamanku dia punya kenalan di desa Randu Wetan disana ada paranormal yang sakti dia mampu membaca masa depan seseorang” jawab ku

“Baik, hayu gaslah jangan pake lama”

“Okeh  bro yuk langsung otw, jangan lupa kamu yang bayarin makan ya haha”

Minggu ini tercerahkan kembali seperti biasanya, semua masalah yang kami bagi pasti menemukan titik solusi. Mulailah kami berangkat menuju desa Randu Wetan.

“Randu Wetan memang ada dukun sakti pemuja setan, dia rela dibayar berapapun untuk menghilangkan nyawa seseorang” begitulah pesan paman padaku.

Laju motor kami semakin dekat dengan tujuan, desa Randu Wetan adalah jawaban kami. (Penulis: Ikfini)


Reaksi:

Post a Comment

1 Comments