“Ada yang bilang, saya ini masih keturunan Kanjeng Nabi Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam“, seorang kyai berkata dalam sebuah obrolan, “untungnya riwayat silsilah yang ditunjukkan kepada saya itu dlo’if!”
“Kok malah untung?”
“Waaa…. kalau saya disahkan menjadi keturunan Kanjeng Nabi….
payah saya!”
“Lho? Gimana sih?”
“Nggak payah gimana? Saya ‘kan jadi nggak boleh terima
sedekah? Apalagi zakat? Apa nggak ngaplo saya?”
Memang tidak boleh menerimakan zakat dan sedekah kepada Bani
Hasyim dan Bani Abdil Muththolib. Dan mereka pun diharamkan menerimanya, demi
keagungan dan kehormatan keluarga Kanjeng Nabi Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi
Wasallam.
Mbah Dullah Salam, Kyai Abdullah bin Abdussalam
rahimahullah, Kajen, Pati, diyakini juga dari Bani Hasyim. Wa qiila silsilah
beliau menyambung sampai kepada Syaikh Sayyid Abdurrahman Basyaiban, Mbah
Sambu, Lasem. Bertemu dengan silsilah Mbah Baidlowi Lasem, Mbah Hamid Pasuruan,
Kyai Achmad Shiddiq Jember, dan Gus Dur. Memang, catatan-catatan silsilah itu
sebagian masih diperdebatkan. Tapi Mbah Dullah adalah seorang yang amat
hati-hati. Lagi pula, beliau adalah Mbah Dullah Salam, lebih dari sekedar
seorang kyai.
Seseorang bertamu, menyerahkan amplop tebal berisi segepok
uang.
“Nuwun sewu, Mbah, ini sedekah saya…”
“Untuk aku?”
“Iya”.
Mbah Dullah manggut-manggut.
“Di kampungmu sudah nggak ada orang feqir?”
Si tamu kaget dan serta-merta kecut hati, tapi berusaha
menjawab hati-hati,
“Yang di kampung saya insyaallah sudah semua, Mbah. Ini saya
sediakan khusus untuk Simbah…”
Sinar mata Mbah Dullah tidak berkurang tajamnya,
“Jadi, aku ini kamu anggap feqir?”
Nyaris pingsan tamu itu! Keringat dingin bertotol-totol di
dahinya. Begitu takut hingga lidahnya lumpuh. Tak mampu berucap walau hanya
kata “ampun”.
Senyum mengembang di wajah Mbah Dullah. Membebaskan si tamu
dari himpitan gunung.
“Pokoknya ini buat aku ya?” suara Mbah Dullah jauh lebih
ramah.
“I… iya…, Mbah…”
“Tashorrufnya terserah aku ya?”
Tamu cuma mampu mengangguk lemah. Mbah Dullah menengok ke
halaman rumah. Santri-santri cilik berkeliaran dan bercengkerama. Mbah Dullah
memanggil salah satunya,
“Nak! Hei! Kamu! Ya! Sini kamu!”
Kepada santri itu Mbah Dullah mengulurkan amplop pemberian
tamu.
“Nih! Bagi-bagi dengan teman-temanmu ya!”
Santri melongo tak percaya. Tapi Mbah Dullah menggerakkan
tangan memberi isyarat supaya dia lekas beranjak. Santri beringsut keluar
rumah. Dan begitu lepas dari pintu, ia langsung teriak-teriak memanggili teman-temannya.
Riuh-rendah pecah. Mbah Dullah tersenyum-senyum memandangi santri-santri
berkejaran di halaman, berebut bagian.
“Lihat!” beliau berkata pada tamu, “Duit sampeyan sudah
bikin gembira anak-anak sebanyak itu!”
(Oleh:
KH. Yahya Cholil Staquf dari
Fp Pecinta Ulama Nusantara)
0 Comments