Persatuan
Indonesia merupakan salah satu asas yang tertulis jelas dalam Pancasila,
Indonesia merupakan negara majemuk, terlahir dari beragam keanekaragaman dan
perbedaan. Persatuan bagi Indonesia adalah mutlak dilakukan oleh setiap warga
negara, karena menjaga Indonesia tetap dalam bingkai Bhineka Tunggal Ikka
merupakan kewajiban bersama.
Merekatkan kembali apa yang telah tercerai |
Adagium“Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh” belakangan ini santer didengar. Karena apa?
Karena Indonesia sedang mengalami fase ‘rawan’ perpecahan karena perbedaan
pilihan di Pilpres 2019. Sekarang, rakyat Indonesia seperti terbagi dalam dua
kutub, dimana kutub tersebut malah saling bersilang pandang.
Arus
polarisasi itu tak ayal menarik kaum sarungan terjun langsung dalam konstelasi
tersebut, terlebih dalam pilpres kali ini salah satu paslon berasal dari
kalangan pesantren.
Majunya
KH. Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden menjadi euforia sendiri bagi para
santri, terlebih selama ini kaum sarungan jarang bermain politik dikancah
nasional setingkat Pilpres, tak terkecuali Gusdur – satu-satunya presiden dari
kalangan santri -. Euforia tersebut juga menarik para kiai pesantren terjun
langsung dalam dunia politik praktis, dimana hal tersebut sangat jarang
dilakukan, karena politik praktis masih dipandang sebelah mata oleh para kiai
pesantren.
Ditahun ini pula para kiai dan ulama pesantren
ramai-ramai mengeluarkan ‘fatwa politis’ dan anjuran untuk memilih paslon nomor
satu, tentu hal ini adalah hal yang wajar karena siapapun diperbolehkan
berkampanye. Namun, hal tersebut tidak selalu memberikan efek positif, terutama
bagi santri/alumni yang berbeda pilihan dengan ‘fatwa politis’ tersebut. Dalam
praktiknya banyak terjadi intimidasi dan perundungan kepada mereka yang
ingkar dengan ‘fatwa’ tersebut.
Dalam
tingkat tinggi (kiai pada santrinya), intimidasi tersebut sangat jarang
terjadi. Namun dalam tingkatan bawah semisal santri ke santri atau alumni ke
alumni, intimidasi dan perundungan tersebut sangat jelas terjadi. Bukti
sederhananya adalah perang argument dan komentar masing-masing pendukung
dimedia sosial, dan senjata efektif untuk membungkam perang tersebut adalah “Ketidaktaatan
santri pada ‘fatwa politis’ kiai akan
menjadi bencana suatu saat nanti” begitulah kira-kira.
Setiap
warga negara bebas memilih seusai keyakinanya, hal ini tertera dalam
undang-undang No 39 Tahun 1999 Tentang HAM. Namun, belakangan terjadi praktik intimidasi polariasi politik sangat terasa, masyarakat seperti diadu domba
karena berbeda pilihan. Mau tidak mau kita harus menerima realitas ini.
Sejatinya
perbedaan adalah rahmat (perbedaan juga pilihan). Terlepas dari beragam isu yang
berkembang tentang masing-masing paslon, kita sebagai kaum sarungan seharusnya
tetap memberikan figur uswah yang baik dengan menghormati kawan kita yang
berbeda pilihan. Perbedaan bukan jalan
untuk saling bermusuhan satu sama lain. Harga persatuan dan kerukunan masih
terlalu murah dijual dengan pilpres yang tejadi 5 tahun sekali, rakyat
Indonesia bukanlah ‘cebong’ ataupun ‘kampret’ dimana kedua istilah tersebut
justru malah merendahkan derajat manusia dimata Tuhan.
Adapun
kesimpulan yang bisa kita ambil adalah tetaplah pada pilihan dan keyakinan kita
masing-masing, perbedaan pilihan bukan satu alasan untuk memutus ikatan
persaudaraan, perbedaan adalah jalan
untuk saling melengkapi. Ambil sisi positif dari sebuah permasalahan, bukankah
dalam kitab ushul fiqih mengajarkan “Tariklah
kebaikan dan tolaklah kerusakan” begitu juga dengan pilihan kita nanti.
Salam NKRI HARGA MATI! (Penulis: Ikfini)
0 Comments